Kampung Riangkoli di Desa Sinamalaka mempunyai kearifan lokal tersendiri dalam menjaga kelestarian alam dan lingkungan hidup. Kearifan lokal ini senantiasa terjaga dalam tutur keseharian maupun disebarkan melalui bahasa sastra adat setempat. Bahasa adat atau knalan masih terus menyimpan memori kolektif Riangkoli sebagai bagian dari wilayah Demon.
Romo Pei Hurint salah satu putra desa ini menuturkan bahwa orang Riangkoli sendiri memiliki daya kekuatan tradisi yang luar biasa. Dari aspek geografis, Riangkoli merupakan pintu gerbang ke wilayah Tanjung Bunga.
Kalau hendak menuju wilayah Tanjung Bunga, maka orang awalnya harus melalui kampung Riangkoli. Karenanya, para tetua menyebut desa Riangkoli dengan nama "Koli Demon Wutun, Lajong Pagon Wakon." Klub sepakbola setempat pun diberi nama senada, Persima "Mada Matan". Mada matan sendiri artinya pintu gerbang.
Belakangan ketika Orde Baru berkuasa, pemerintah memberi perhatian kepada kampung-kampung yang ada. Dari kampung-kampung itu dibentuklah desa-desa "Gaya Baru". Namun nuansa budaya tetap dipertahankan. Maka Riangkoli pun diberi nama gaya baru: Sinamalaka, yang lengkapnya dinamai Sinamalaka, Jawamalua. Hal ini terkait dengan keyakinan tentang asal-usul orang Riangkoli dari Horibubu, Jawa Mamu. Nenek moyang ini awalnya datang dari barat yaitu Sina Jawa, kerajaan Malaka pada abad XVI di semenanjung Malaya.
Tahun 1992 ketika gempa dan tsunami menggoncang pulau berjuluk cabo da Flora ini, Riangkoli luput dari amuk laut. Padahal lokasinya saat itu berada di dekat pantai. Apa yang menjadi benteng pertahanan desa? Ternyata kearifan lokal adalah benteng pertahanannya. Masyarakat dengan kearifan lokal menjaga hutan mangrove yang tumbuh sepanjang pantai. Hutan Mengrove ini dijadikan bumper peredam ganasnya tsunami dari pantai utara yang saat itu menghancurkan sebagian besar desa-desa dan kota pesisir.
Mangrove yang dalam bahasa setempat dinamai "kwakat" populasinya padat di sepanjang pesisir pantai Riangkoli di Teluk Hading. Karenanya, saat ini Hutan Mengrove mesti dilindungi. "Biarkan hutan mengrove bertumbuh untuk kelestarian biota laut pesisir, dan menjadi benteng penahan dari hempasan gelombang laut dan tsunami untuk wilayah Riangkoli," demikian ajak Romo Pei. (Teks: Fransiskus Xaverius Hurint, Edit: Simpet)