Dalam wilayah budaya Lamaholot, tatacara menyapa kerabat mendapat tempat tersendiri dalam aturan sopan santun pergaulan antar pribadi dan antar kelompok. Walaupun secara prinsip cukup serupa, istilah-istilah yang dipakai dalam menyapa kadangkala berbeda dari satu tempat ke tempat lain. Karena itu, di sini coba kami inventarisir penggunaan istilah khususnya di wilayah desa Sinamalaka.
Dalam ilmu antropologi, istilah kekerabatan dibedakan atas dua. Yang pertama adalah istilah menyapa (Term of address) yakni memanggil kerabat saat berhadapan langsung, dan yang kedua adalah istilah menyebut (Term of Reference) yang dipakai dalam pembicaraan dengan orang lain tentang kerabatnya sebagai pihak ketiga. Untuk masyarakat Lamaholot umumnya, dan Sinamalaka khususnya hampir tidak dapat dibedakan antara dua hal ini.
Di kampung Riangkoli yang dikenal dalam 'kenala' atau sastra Lamaholot sebagai "Koli Demon Wutun, Lajong Pagon Wakon", istilah kekerabatan dibedakan pada garis patrilineal dan matrilineal. Untuk keluarga inti atau orangtua kandung, panggilan yang dipakai untuk ayah adalah 'Pa' atau 'Ba'. Sementara untuk Ibu dipanggil 'Ema'.
Pada garis patrilineal, saudara laki-laki ayah dan juga para pria sepantaran yang sesuku dengan ayahnya dan juga istrinya disapa 'Bosu' atau'Bou'. Sementara saudari perempuan ayah disapa 'Nona' dan suaminya disapa 'Tiu'.
Pada garis matrilineal, saudara laki-laki Ibu dan juga semua pria sepantaran dalam sukunya disapa 'Mamang' dan istrinya disapa 'Tia'. Sementara saudara wanita dari ibu disapa 'Ema', 'Bou' atau 'Uri', sedangkan suaminya juga disapa 'Bou' atau 'Uri'.
Ada sekian banyak sapaan yang berbeda di setiap kampung wilayah Lamaholot, tapi maknanya sama, bila disandingkan "obyek" orang yang disapa atau dipanggil itu.
Kita sekalian bisa menambah khasanah budaya ini dalam tulisan dan komentar menanggapi tulisan ini. Salam satu Lamaholot. (Teks: Fransiskus Xaverius Hurint)